Perilaku Membakar Sampah dan Ketersediaan TPS

by Ammar


2019-05-09 02:33:15

900x300

Jakarta -

Hanya 37,67 persen rumah tangga menyatakan membakar sampah bukan cara terbaik mengelola sampah, selebihnya 59,5 persen menyatakan membakar sampah adalah cara terbaik dan 2,83 menyatakan tidak tahu (Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik, September 2017). Hal ini cukup menggelisahkan, ketika pengetahuan sederhana ini tidak diketahui masyarakat. Mereka menyatakan ini cara terbaik.

Mengubah Perilaku

Pengetahuan memiliki dampak yang penting pada perilaku seseorang (Frick et al., 2004). Hasil survei yang sama menunjukkan terdapat 54,65 persen rumah tangga memilih membakar sampah sebagai cara pengelolaan sampah yang dihasilkan. Perilaku membakar sampah ini tidak mengejutkan dikarenakan hampir 60 persen menyatakan bahwa membakar sampah adalah cara terbaik dalam mengelola sampah.
 

 

Seandainya pengetahuan itulah yang benar akan mengubah perilaku membakar sampah masyarakat Indonesia, sebagaimana penelitian Otto dan Pensini (2017) yang menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan lingkungan hidup diperlukan sebagai persyaratan untuk berperilaku peduli lingkungan hidup, maka pemerintah dapat mulai mensosialisasikan pengetahuan ini agar menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) ke-11 dapat tercapai.

Selain pencapaian TPB, hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik sebagaimana diamanatkan UUD 45 Pasal 28 H dapat dipenuhi pemerintah.

Ketersediaan TPS

Masih dengan kegelisahan yang sama terkait pernyataan membakar sampah adalah cara terbaik mengelola sampah, kemudian saya tersadar melihat data hasil pengukuran Potensi Desa (PODES) 2018 oleh BPS yang dirilis pada 17 Desember 2018. Data ini menunjukkan bahwa tempat penampungan sampah sementara (TPS) hanya tersedia di 16.005 dari 83.931 desa yang ada di Indonesia --hanya 19,07 persen desa.

Perilaku membakar sampah di Indonesia bisa saja terjadi karena tidak tersedianya TPS, sehingga menyalahkan perilaku masyarakat agak kurang relevan. Masyarakat mungkin tidak punya pilihan lain terhadap sampah yang dihasilkan selain menjauhkannya dari pandangan dan penciuman.

Ketersediaan TPS perlu menjadi perhatian pemerintah karena dampak dari sampah yang dibakar sangat berbahaya. Wiedinmyer dkk (2014) dalam penelitian bertajuk Global Emissions of Trace Gases, Particulate Matter, and Hazardous Air Pollutants from Open Burning of Domestic Wastememperkirakan sebanyak 29 persen dari emisi antropogenik global dari partikel kecil (partikel padat kecil dan tetesan cairan dari debu ke logam yang dapat menembus jauh ke dalam paru-paru) berasal dari pembakaran sampah. 

Sekitar 10 persen emisi merkuri berasal dari pembakaran sampah, begitu juga 40 persen polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Polusi semacam itu dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan neurologis, dan berkaitan dengan serangan jantung dan beberapa kanker.

Ketersediaan TPS dalam empat tahun terakhir memang bisa dikatakan sudah mengalami peningkatan. Jika melihat data PODES 2014 ketersediaan TPS hanya di 9.192 dari 82.190 desa atau hanya 11,18 persen desa yang memiliki fasilitas ini, terjadi peningkatan pada 2018 hampir 20 persen desa yang memilikinya.

Peningkatan ini sangat baik, namun masih perlu ditingkatkan mengingat target pemerintah terkait penanganan sampah cukup tinggi, yakni 70 persen dari angka timbulan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga pada 2025. Selain target tersebut, pengelolaan sampah perlu mendapatkan perhatian untuk mencapai TPB ke-11 dan hak penduduk mendapatkan lingkungan hidup yang baik sebagaimana diamanatkan dalam UUD.

Penanganan sampah yang baik tentunya akan membawa kita kepada negara yang bersih dan sehat. Menyediakan TPS di semua desa adalah salah satu caranya. Namun, satu hal yang penting dari isu lingkungan hidup selain pengelolaan atas sampah yang dihasilkan adalah mengurangi sampah itu sendiri.

Winda Sartika Purba statistisi di Subdirektorat Statistik Lingkungan Hidup Badan Pusat Statistik

Bagikan Ke: